Kental Nuansa Kolonial, Muhammadiyah Tolak Pengesahan RUU Pertanahan
https://www.jakartaforum.web.id/2019/09/kental-nuansa-kolonial-muhammadiyah.html
![]() |
Peta Buta Kalimantan Timur pengganti Ibukota DKI Jakarta |
Menyikapi Rancangan Undang Undang (RUU) Pertanahan yang dibahas di DPR RI tak menyebut Pembentukan Lembaga Independen untuk menyelesaian konflik Agraria bersifat struktural dan masif. Ini menimbulkan kecurigaan Muhammadiyah tentang RUU Pertanahan dikebut DPR RI terkait wacana pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur.
Dihubungi via whatsApp, Sabtu Jam 21.54 WIB, 7/9/2019 Dr. Sihombing Setuju, kalau ada masuk ke rana Domein Verklaring. Berarti ada Explotation de Parlomme. Lebih tak manusia lagi itu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan Azas HAM Dunia.menurut Dr. Sihombing perlu adanya peninjauan kembali.
Justru menurut hemat Dr. Sihombing yg paling efektif itu Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) yg baru itu tidak lagi menyentuh Hukum Agraria Belanda karena Belanda sudah kalah sama Jepang.Nah inilah sekarang yg menjadi sumber permasalahan paling besar dalam Hukum Tanah di Indonesia, solusinya kalau mau diperbaharui UUPA cukup hanya mengambil hak hak pada zaman Jepang menjajah dan hak hak penguasaan fisik pribumi serta hak hak adat dalam hal ini kepala adat.Nah kalau ini yg dirancang semakin memperkecil masalah, konflik dan sengketa tanah di Indonesia.Alasannya karena Jepang sendiripun waktu itu tak mengakui hak hak Belanda, inilah sebenarnya adanya kontroversial UUPA No. 5/1960.
Kemudian juga Girik yg lahir sejak tahun 1960 bukan lagi alat bukti kepemilikan tanah melainkan sebagai alat bukti pembayaran pajak. Dengan demikian konflik dan sengketa tanah di Indonesia semakin berkurang, inilah norma yg perlu diterapkan kalau UUPA No. 5/1960 mau di revisi.
Selanjutnya Penggarap juga harus diakui kepemilikannya seperti kebijakan Ali Sadikin mantan Gubernur DKI Jakarta tahun 1972.Penggarap diatas tanah pemerintah 25%, dan diatas tanah swasta dan perorangan 40%, dengan demikian Konflik dan sengketa tanah semakin berkurang dan semua pemilik tanah menjadi memelihara tanahnya sesuai pasal 15 UUPA.
Jadi kalau toh ada niat pemerintah mau me revisi UUPA 5/1960 ya tolonglah diperhatikan norma hukum yg hidup dalam Hukum Tanah Indonesia sekarang ini di kaji dari Aspek Sosiologi Hukum (living law). Dengan demikian U.U.Pertanahan yg baru itu bisa di terima semua lapisan khususnya masyarakat utk dapat menyelesaikan konflik dan sengketa tanah yg ada saat ini.
![]() |
Pakar Hukum Agraria/Pertanahan Dr. B.F. Sihombing. ,SH. ,MH. Dosen Universitas Pancasila |
Sangat mendesak sebenarnya untuk mengatasi masalah pertanahan ini adalah sudah saatnya ada Struktur Badan Pertanahan Nasional (BPN) di tingkat Kecamatan dan Kelurahan untuk dapat mengidentifikasi masalah, setelah ada hasil Identifikasi masalah barulah mulai mengkaji Rancangan Revisi U.U.P.A No.5/1960.
Ditambahkan lagi,” Ini belum tahu identifikasi masalah dari hukum yg hidup ujuk ujuk Revisi UUPA aneh.Kontroversial tak lazim atau standart dan salah satu tujuan yg paling pokok merevisi peraturan hukum itu adalah untuk dapat menyelesaikan masalah, bukan jadi menambah masalah. Demikian whatsApp sumbang saran dari Dr. Sihombing melaui via whatsApp [edi/Jf]