INAFOR 2019, Ajang Konferensi Internasional Peneliti Kehutanan
https://www.jakartaforum.web.id/2019/08/inafor-2019-ajang-konferensi.html
Jakarta - KLHK menggelar konferensi internasional ke-5 peneliti kehutanan (The 5th International Conference of Indonesia Forestry Researchers/INAFOR) selama 4 hari (27-29 Agustus 2019 di IPB International Convention Center dan 30 Agustus 2019 di Kampus Gunung Batu). Pertemuan tersebut mengusung tema “Enforcing Forest Restoration and Waste Management for Better Environment and Socio-Economic Benefits” yaitu membahas masalah dan tantangan dalam restorasi hutan hingga pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dan limbah hasil aktivitas antroposentris.
Kepala Badan Litbang dan Inovasi (BLI) KLHK, Agus Justianto mewakili Menteri LHK pada saat pembukaan konferensi menyampaikan, “Perspektif negara terhadap pengelolaan sumber daya alam hutan dan lingkungan telah mengalami pergeseran besar ke arah keseimbangan nilai sosial, lingkungan dan ekonomi. Kebijakan dan peraturan kehutanan diselaraskan dengan visi nasional dan rencana pembangunan. Juga sejalan dengan komitmen internasional seperti pembangunan berkelanjutan (SDG), Perjanjian Paris, dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD)”.
Menurut Agus Justianto, pengelolaan hutan di masa lalu yang semula berorientasi kayu kini bergeser ke pengelolaan lanskap hutan. “Dengan paradigma bergeser ini, sudah saatnya untuk melihat restorasi lebih dari sekedar pohon. Restorasi sebenarnya tentang mereformasi lanskap di seluruh dunia yang digunduli, terdegradasi, atau kurang dimanfaatkan. Restorasi juga tentang meningkatkan produktivitas lanskap ini yang akan membantu mengurangi tekanan dari hutan yang tersisa di dunia sementara juga menyediakan sejumlah manfaat nyata, dari ketahanan pangan hingga air bersih hingga penyerapan karbon,” tutur Agus Justianto.
Keberadaan hutan dunia telah terbukti penting untuk kesejahteraan manusia dan keberlanjutan planet ini. Hutan menyediakan layanan ekosistem yang penting serta konservasi tanah dan air dan udara bersih. Hutan mencegah degradasi tanah dan penggurunan serta mengurangi risiko banjir, tanah longsor, dan bencana lainnya. Di banyak daerah, hutan juga memiliki nilai budaya dan spiritual yang penting.
Agus Justianto menyampaikan, Pemerintah Indonesia sejak 2004 telah meluncurkan Program Restorasi Ekosistem yang melibatkan 33.000 desa di sekitar kawasan hutan. Sasaran utamanya adalah masyarakat desa dapat menghasilkan banyak barang dan jasa untuk kemudian diambil manfaatnya.
“Kami berharap kemandirian ekonomi, keamanan pangan dan energi dimulai dari desa. Kami juga mendorong program Perhutanan Sosial dalam pelibatan dan membantu masyarakat desa untuk mendapatkan akses ke lahan hutan. Ini merupakan salah satu solusi untuk memulihkan ekosistem hutan di Indonesia,” kata Agus Justianto.
Data KLHK menunjukkan, dari 2015 hingga 2019, Pemerintah telah menetapkan target untuk mengurangi luas lahan kritis hingga 5,5 juta hektar. Target ini tersebar di 34 provinsi yang dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Upaya rehabilitasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia melibatkan rehabilitasi waduk, wilayah danau prioritas dan daerah aliran sungai, pengembangan hutan bakau dan hutan kota, serta pembentukan pusat pembibitan masyarakat.
Tantangan serius lainnya yang dihadapi Indonesia yaitu pengelolaan limbah di perkotaan akibat pertumbuhan populasi yang cepat. “Pusat-pusat kota besar di Indonesia menghasilkan hampir 10 juta ton limbah setiap tahun, dan jumlah ini meningkat 2 hingga 4% setiap tahun. Isu ini menjadi semakin kritis dewasa ini,” ungkap Agus Justianto.
Agus mencontohkan, penerapan hasil litbang dapat ditempuh oleh masyarakat dan berbagai pihak seperti cara pengomposan limbah rumah tangga yang cepat, berteknologi rendah dan murah. Pada 2009, lebih dari 19.000 keranjang kompos dan 14 pusat kompos telah didirikan di berbagai kota di Indonesia.
“Upaya penerapan hasil litbang semacam ini adalah yang kita butuhkan untuk menyelesaikan masalah pengelolaan limbah karena telah membantu mengurangi jumlah limbah yang diangkut ke lokasi pembuangan akhir secara signifikan. Tidak hanya kegiatan pengomposan masyarakat memberikan pendapatan tambahan untuk keluarga berpenghasilan rendah tetapi juga mengurangi gas rumah kaca yang dihasilkan di tempat pembuangan sampah. Ini juga menunjukkan bahwa terlepas dari berbagai masalah dalam restorasi hutan dan pengelolaan limbah, akan selalu ada cara untuk menyelesaikannya,” kata Agus Justianto.
Konferensi Internasional ke-5 INAFOR adalah media pertemuan ilmiah bagi semua peneliti kehutanan Indonesia dan internasional, baik dari sektor pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi. INAFOR diselenggarakan oleh BLI KLHK setiap dua tahun untuk mengkomunikasikan hasil capaian terkini secara luas terhadap berbagai hasil penemuan litbang kehutanan. Selain itu, konferensi ini juga menjadi wadah bertukar informasi dan diskusi ilmiah dalam rangka memperbarui arah litbang dan inovasi serta mencari solusi mengatasi permasalahan bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
“Indonesia bermaksud untuk mengambil peran yang lebih proaktif dalam upaya internasional untuk mempertahankan ekosistem hutan dunia dan agenda pembangunan berkelanjutan. Setelah belajar dari tantangan lingkungan yang muncul, kami telah meningkatkan kapasitas kami untuk mengatasi masalah, mempersiapkan para pemangku kepentingan untuk memahami masalah dengan lebih baik, mengurangi dampak, mengambil tindakan pada adaptasi dan mengendalikan sumber masalah,” ujar Agus Justianto.
Selama 4 hari, para ahli dan peneliti terkenal dari berbagai institusi di Indonesia dan juga mancanegara akan mempresentasikan lebih dari 200 paper iptek dan inovasi restorasi hutan dan pengelolaan limbah. Terdapat lima sub tema yang diangkat pada INAFOR 2019 ini adalah: (1) Adopting the renewable bioenergy and waste utilization to support circular economy and sustainable environment; (2) Innovative solution for managing tropical forest and conserving biodiversity to support SDG; (3) Translating science into climate policy and action; (4) managing forest genetic resources in changing environment and landscape; (5) The role of science and technology to support the improvement of environmental quality.