Role Model Amandemen UUD 1945, Perekat atau Pengkikis Persatuan Indonesia?
https://www.jakartaforum.web.id/2016/03/role-model-amandemen-uud-1945-perekat-atau-pengkikis-persatuan-indonesia.html
Oleh : NAJAB KHAN, SH., MH
![]() |
Role model amandemen UUD 1945, perekat atau pengkikis persatuan Indonesia? |
Sekalipun konstitusi Negara Republik Indonesia (RI) mengatur dan menghalalkan perubahan UUD 1945 bukan berarti setiap hasil perubahan (amandemen) UUD 1945 membawa dampak positif dan merupakan jaminan perekat persatuan rakyat Indonesia karena fakta empirik (+ 15 tahun amandemen) membuktikan justru yang terjadi sebaliknya.
Hasil amandemen 4 (empat) kali UUD 1945 (yang disahkan tanggal 19 Oktober 1999, tanggal 18 Agustus 2000, tanggal 10 November 2001 dan tanggal 10 Agustus 2002) sebenarnya merupakan hasil amandemen yang berpotensi mengancam keretakan persatuan bangsa Indonesia dan lambat laun akan menjadi martil pengkikis persatuan Indonesia.
Role Model Amandemen UUD 1945, Perekat atau Pengkikis Persatuan Indonesia?
Setelah amandemen UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bukan lagi disebut lembaga kedaulatan rakyat tertinggi di Republik ini.
Lembaga ini berubah 100% bentuk dan kedudukannya, bahkan posisi dasar Negara RI yang berketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29 UUD 1945) yang disakralkan didalam pembukaan UUD 1945 terancam terkikis serta rentan diubah oleh setiap anggota MPR sekarang atau yang akan datang yang tidak mengerti sejarah bangsa Indonesia, tidak memahami nilai-nilai luhur kepribadian bangsa Indonesia ataupun bisa pula diubah oleh pihak asing yang menurut logika awam tidak mungkin terjadi, tetapi bisa saja menjadi mungkin melalui berbagai cara termasuk melalui cara-cara legislasi (melalui ratifikasi Undang-Undang atas konvensi-konvensi Internasional yang sebetulnya tidak cocok dengan nilai luhur budaya bangsa Indonesia).
A. KEDUDUKAN MPR
MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi sebagai pemegang penuh kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan RI seperti disebutkan dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum amandemen) melainkan lembaga ini memposisikan diri dan melemahkan dirinya sendiri sejak amandemen dan lembaga ini hanya memiliki fungsi menjalankan kedaulatan rakyat jika ada usulan dan/ atau jika diajukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saja tanpa memerlukan usulan dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sekalipun anggota DPD juga mewakili kepentingan rakyat didaerahnya.
Sebetulnya oleh para pendiri bangsa, MPR didesain sebagai lembaga atau rumah rakyat tertinggi di republik ini.
Semua cita-cita dan tujuan kemerdekaan rakyat Indonesia digantungkan harapannya pada lembaga ini agar rakyat memiliki kedaulatan dan kewenangan penuh menentukan arah kehidupan dan mengembangkan budaya bangsanya.
Oleh badan pembentuk UUD 1945 (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/ Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI / PPKI), sebetulnya anggota MPR didesain untuk menjadi anggota dari sebuah lembaga yang memiliki kedaulatan tertinggi dibandingkan dengan anggota Badan/ lembaga Negara yang lainnya karena rakyat berkesimpulan bahwa MPR dianggap sebagai cermin perwujudan keterwakilan dari seluruh kepentingan hidup rakyat Indonesia dan yang sewaktu-waktu dapat dimintai bantuan untuk memecahkan persoalan bangsa Indonesia manakala ada perbuatan penguasa yang lalim atau ada ancaman dari pihak asing yang bermaksud menghancurkan hajat hidup rakyat atau kultur bangsa Indonesia.
Setelah amandemen UUD 1945, kedudukan MPR hampir serupa tetapi memang tidak sama dengan DPR karena anggota MPR juga berasal dari anggota DPR dan hanya ditambah dengan anggota DPD saja.
Bahkan posisi dan kedudukan anggota MPR setelah diamandemen hampir sejajar (Neben) dengan Presiden tetapi tidak terlalu rendah dibandingkan dengan kedudukan Presiden karena MPR masih diberi hak dan wewenang untuk bisa memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden manakala ada usulan dari DPR dan/ atau jikalau rakyat Indonesia mendesak DPR-nya agar DPR mengajukan usul pada MPR dengan dilengkapi Surat Keputusan dari Mahkamah Konstitusi tentang ada-tidaknya Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, mengkhianati Negara, Korupsi, Suap, tindak pidana berat lainnya, atau melakukan perbuatan tercela ataupun apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
B. FAKTA HASIL AMANDEMEN
Catatan lain terhadap hasil amandemen UUD 1945, adalah
- Anggota MPR yang sekarang seolah-olah didesain untuk menjalankan produk pasal-pasal batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang substansinya saling kontradiktif dengan nilai-nilai filosofi Pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa yang tertera pada pembukaan UUD 1945.
- MPR sekarang juga sepertinya didesain untuk turut menjalankan produk UU yang dibuat oleh dan berasal dari budaya bangsa lain melalui ratifikasi atas UU No.12 Tahun 2005 atau atas konvensi-konvensi Internasional lainnya yang sebetulnya tidak cocok dan bahkan saling bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia serta didesain untuk tidak memiliki hak kontrol atas persoalan tersebut.
- MPR model sekarang sepertinya memang didorong untuk terdegradasi posisi dan kedudukannya selaku lembaga tertinggi di republik ini dan/ atau turun kelas kedaulatannya dari semula sebagai wadah cermin dari rakyat yang berdaulat penuh dan tertinggi menjadi sebuah lembaga rakyat yang tidak memiliki kedaulatan tertinggi di republik ini serta berimplikasi terancamnya perlindungan kehidupan rakyat dan budaya luhur bangsa Indonesia.
- Anggota MPR diisi oleh atau terdiri dari anggota DPR + DPD tetapi kewenangan kedaulatan rakyatnya hanya diwujudkan oleh anggota DPR-nya saja padahal anggota DPR dan anggota DPD juga sama-sama dipilih oleh rakyat dari daerahnya masing-masing.
- MPR tugas pokoknya semacam ceremonial saja dalam setiap pelantikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
- Anggota MPR secara keseluruhan tidak bisa meminta pertanggungjawaban kepada Presiden atau bahkan tidak bisa mengajukan usulan memberhentikan Presiden sekalipun Anggota MPR-nya tahu bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden melanggar konstitusi Negara RI atau berbuat tercela, jika tidak diawaIi usulan tertulis dari anggota DPR dan jika tidak dilampiri Surat Keputusan dari Mahkamah Konstitusi, karena eksistensi dan jati diri Presiden dan/ Wakil Presiden RI dipilih langsung oleh rakyat Indonesia bukan dipilih MPR.
- Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR karena MPR telah berubah bentuk dan wujudnya serta MPR bukan lagi berkedudukan sebagai lembaga/ wadah yang membuktikan bahwa rakyat-lah pemegang kedaulatan tertinggi.
- Hasil amandemen UUD 1945 juga membuktikan bahwa pasal-pasal hasil amandemen tidak lagi mencerminkan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia.
- Kedudukan rakyat dalam rumah MPR terdegradasi dan dasar Negara kesatuan RI yang berketuhan Yang Maha Esa (Pasal 29 UUD 1945) juga rentan diubah oleh siapa saja termasuk oleh masuknya nilai-nilai budaya asing secara perlahan.
- Presiden dan/ atau Wakil Presiden sekalipun kedudukannya hampir sejajar (Neben) dengan MPR, ternyata Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak bisa membubarkan DPR jika Presiden atau para menterinya diganggu oleh DPR dan/ atau sekalipun anggota DPR-nya telah melakukan perbuatan menyimpang dari konstitusi Negara RI.
- Kedudukan dan peran MPR hasil amandemen UUD 1945 tidak bisa lagi membuat Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai arah atau haluan kebijakan pembangunan suatu Negara yang berbentuk Negara Kesatuan RI karena kewenangannya telah dipangkas, dikerdilkan dan bergeser menjadi kewenangan Presiden dan/ atau Wakil Presiden (Pemerintah) didalam menetapkan kebijakan program 5 (lima) tahun pembangunan Negara Kesatuan RI.
- Arah/ haluan kebijakan pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak terukur lagi dan tidak terstruktur dengan baik, artinya arah kebijakan pembangunan di Negara kesatuan RI tidak lagi memiliki jaminan pembangunan yang berkesinambungan, rentan bongkar pasang pembangunan, tidak jelas arah pembangunannya sehingga berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa serta pula berpotensi mengkikis persatuan Indonesia.
Karena MPR sebelum amandemen tidak tuntas dan tidak membicarakan kewenangan lembaga/ badan mana yang membuat dan menetapkan GBHN maka arah kebijakan pembangunan Negara yang dibuat dan dijalankan pemerintah (Presiden dan/ atau Wakil Presiden) rentan disimpangi dan bahkan bisa dilaksanakan secara tidak adil oleh Pemerintah Pusat manakala Pemerintah Pusat menganggap bahwa pimpinan didaerah dianggap berpotensi menutup aura kewibawaan pemerintah pusat.
Atau sebaliknya.
Dampak tidak adanya kewenangan MPR menetapkan GBHN maka arah kebijakan pembangunan daerah yang satu dengan kebijakan pembangunan daerah yang lainnya tidak jelas pedoman dan acuannya, sehingga fakta membuktikan arah pembangunan nasional dan daerah digarap serta dikerjakan secara tidak terstruktur, dan tidak sistematis dari waktu ke waktu yang pada akhirnya meninggalkan permasalahan-permasalahan yang rumit, pelik serta perlahan-lahan mengkikis persatuan Indonesia.
C. MASALAH
Fakta empirik diatas memunculkan pertanyaan sebagai berikut:
- Bagaimana MPR sebelum amandemen 1945 mengajukan usul, membuat rancangan amandemen, serta melakukan pembahasan dalam setiap persidangan, sehingga menyetujui beberapa pasal untuk diubah dengan pasal yang baru atau menambahkan ayat-ayat pada pasal tertentu sehingga ada pasal tidak boleh diganti seperti pada pasal 37 ayat 5 UUD 1945 hasil amandemen dan ada pula pasal-pasal yang rentan diganti/ diamandemen.
- Mengapa MPR sebagai wadah pemegang kedaulatan rakyat tertinggi rela mengkerdilkan dirinya dan tidak melakukan kajian yang dalam terhadap amandemen UUD 1945 serta menanggalkan kajian filosofi Negara RI (Pancasila).
D. AMANDEMEN UUD 1945, ROLE MODEL PEREKAT ATAU PENGKIKIS?
Beberapa temuan dan catatan terhadap hasil empat kali amandemen UUD 1945 ternyata berimplikasi kearah perubahan UUD 1945 yang dapat mengkikis persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia.
Pada intinya Konstitusi Negara Republik Indonesia mengamanatkan pada rakyat Indonesia bahwa bilamana anggota MPR berkehendak merubah UUD 1945 maka syarat formalnya adalah adanya keharusan 2/3 anggota MPR hadir dan putusan diambil dengan persetujuan yang harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, akan tetapi syarat materiilnya untuk mengubah batang tubuh (UUD 1945 yang lama) tidak banyak dibicarakan sehingga oleh sejarah kebangsaan Indonesia diserahkan pada anggota MPR yang hadir dan bersidang untuk membicarakan perubahan UUD 1945.
Setelah amandemen UUD 1945 ada lima pasal (Pasal 4, pasal 10, pasal 12, pasal 29 dan pasal 35 yang tidak mendapat amandemen) sedangkan pasal-pasal lainnya mendapatkan perubahan/ tambahan ayat. Substansi pasal 37 UUD 1945 mencantumkan tambahan ayat dan tambahan syarat berupa pencantuman pasal tentang cara/ metode baru bila rakyat berkehendak mengubah batang tubuh UUD 1945, serta pula menambahkan ayat pelarangan terhadap perubahan Pasal 1 ayat (1) kedalam ketentuan isi pasal 37 ayat (5) batang tubuh UUD 1945.
Substansi, metode dan sistem perubahan UUD 1945 yang didesain, dibahas, serta disetujui oleh anggota MPR sebelum amandemen seperti gambaran tersebut diatas mengindikasikan bahwa pasal-pasal didalam batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen dapat diklasifikasikan sebagai ketentuan pasal/ ayat yang mengarah pada roll model mengkikis persatuan rakyat Indonesia.
Buktinya, Pasal-pasal hasil amandemen UUD 1945 ternyata,
- Memberi ruang terbuka untuk terjadinya perubahan pasal-pasal tertentu lainnya dalam UUD 1945 yang berkaitan erat dengan dasar atau landasan filosofi Pancasila, serta berpotensi mengrongrong nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia.
- Hasil amandemen UUD 1945 juga berdampak timbulnya kesewenang-wenangan dari banyak pihak pemangku kepentingan yang ingin secara mudah mengusulkan perubahan, karena yang dilarang untuk diubah didalam batang tubuh UUD 1945 hanya pasal tentang bentuk Negara kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 ayat 1 UUD 1945), sedangkan pada pasal 29 UUD 1945 tidak dilakukan pelarangan untuk tidak diubah, padahal cita-cita dari para pembentuk UUD 1945 atau cita-cita bangsa Indonesia merdeka, yang paling pokok dan utama bertujuan membentuk susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat (artinya rakyat-lah yang paling tinggi memiliki kedaulatan) dengan dasar ketuhanan Yang Maha Esa.
Mengacu pada landasan filosofi dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia tersebut diatas dan apalagi nilai-nilai pancasila sudah tercantum didalam Pembukaan UUD 1945 maka sekalipun hanya bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia saja yang dilarang diubah atau tidak dapat diubah oleh teori hukum apapun (termasuk menurut Stuffentheorienya Hans Kelsen) tetapi hasil amandemen UUD 1945 yang baru ternyata tetap saja berpotensi mengkikis persatuan Indonesia karena beberapa perubahan terhadap pasal-pasal pokok dan penting sebagai pasal kongkritisasi dari suatu filosofi bangsa Indonesia bernegara kesatuan RI (seperti pada Pasal 29 UUD 1945) belum mendapat ketegasan pengaturan pelarangan perubahannya.
Catatan lain juga menyebutkan,
- Anggota MPR terlalu terburu-buru mengkaji, membahas, dan memutuskan ayat-ayat tambahan terhadap persoalan amandemen UUD 1945 tanpa melalui kajian yang dalam terutama pada kajian nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila serta terkesan uji coba.
- Anggota MPR terlalu efouria dengan stempel reformasinya dan terlampau menunjukan sifat emosionalnya terhadap figur pemimpin yang bekuasanya terlalu lama padahal seharusnya anggota MPR menunjukan sikap arif dan bijaksana jika ada ketidak beresan pada faktor person / orang dalam tata kelola bernegara maka seyogyanya yang harus diperbaiki adalah figur / orangnya saja, bukan malah mengkerdilkan lembaga rakyat sebagai sebuah lembaga besar yang mengandung nilai-nilai filosofi bangsa sebagaimana tercantum dalam sila ke-empat Pancasila.
- Beberapa ahli Hukum Tata Negara di Indonesia berbeda-beda pandangan dan pendapatnya, antara lain ada yang berpendapat:a. UUD 1945 tidak bisa diubah karena UUD 1945 mengandung nilai-nilai luhur kebangsaan dan telah tercantum pada Pembukaan dan Batang Tubuhnya, serta diibaratkan sebagai sosok tubuh manusia yang terdiri dari leher keatas dan leher kebawah yang saling kait mengkait sehingga berwujud sebagai satu kesatuan tubuh yang tidak bisa dipisahkan,b. Ahli lain berpendapat UUD 1945 bisa diubah karena beranggapan bangsa Indonesia tidak memiliki sebuah konstitusi yang definitif (dasarnya Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945 sebelum amandemen),c. Ada juga Ahli lain berpendapat konstitusinya sudah definitif (dasar merubah UUD 1945 mendasarkan pada pasal 37 UUD 1945 sebelum amandemen), namun selanjutnya yang tidak bisa diubah adalah hanya pembukaan UUD 1945 saja sedangkan Batang Tubuhnya bisa diubah/ diamandemen.
Menurut hemat penulis, pandangan atau pendapat point b dan point c sekalipun tidak keliru dari sisi Hukum Tata Negara tetapi kajian filosofinya kurang mendalam dan lebih bersifat pragmatis, sehingga sebagian besar anggota MPR terpukau seolah-olah dua pandangan diatas dianggap sebagai problem solving (pemecah masalah) kehidupan rakyat bernegara di wilayah negara kesatuan RI berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Argumentasi filosofinya, adalah
- Menurut sejarahnya, munculnya draft usulan pencantuman Pasal 37 UUD 1945 (sebelum amandemen) dilakukan ditingkat rapat-rapat PPKI bukan muncul sejak awal pengusulan dan pembahasan ditingkat BPUPKI.
- Para pendiri bangsa sebetulnya telah lama merenung, memikirkan, membahas, serta merumuskan draft UUD 1945 (yang terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945), kemudian bersepakat memutuskan dan mengesahkan UUD 1945 yang didalamnya terkandung nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia (Pancasila).
- Sekalipun didalam UUD 1945 (sebelum amandemen) membolehkan untuk diubah dan/ atau ditetapkan oleh MPR tetapi semua bentuk perubahan (dasar Pasal 37 UUD 1945) dan bentuk penetapan UUD 1945 oleh MPR (dasar Pasal 3 UUD 1945) yang asli sebetulnya mengandung makna bukan untuk mudah dibongkar pasang.
- Makna filosofi lainnya adalah boleh saja dilakukan perubahan UUD 1945 oleh anggota MPR, tetapi melalui syarat dan kajian yang dalam, misalnya jika ada fakta empirik tentang adanya perubahan mendasar dari paradigma rakyat Indonesia terhadap perubahan pengakuan rumusan lima sila dari Pancasila, contoh kongkrit, bila ada fakta bahwa rakyat Indonesia tidak lagi memandang dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa seperti dirumuskan didalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Terkandung makna pula bahwa anggota MPR diberi hak perluasan untuk menafsirkan isi UUD 1945 dalam konteks kebutuhan kekinian bangsa Indonesia melalui kajian filosofi yang cocok dengan budaya bangsa Indonesia tetapi outputnya dirumuskan melalui produk Tap-Tap MPR.
- UUD 1945 yang asli sekalipun dibuat tidak komplit untuk menjawab kebutuhan kehidupan bangsa Indonesia pada masa lalu, masa kini dan masa depan tetapi UUD 1945 dibuat melalui sejarah perenungan, pembahasan, dan perumusan yang sifatnya sederhana, supel dan dinamis untuk daya keberlakuan yang panjang sampai rakyat Indonesia mencapai kehidupan yang sejahtera dan memilki kecerdasan yang optimal sekaligus mengeyahkan kemiskinan dan kebodohan akibat rakyat Indonesia terlalu lama dijajah oleh Belanda atau oleh bangsa asing lainnya (Jepang) melalui slogan-slogannya seolah-olah sebagai saudara tua.
- UUD 1945 sudah sering diuji oleh politik asing (Politic devide et Impera / Politik pecah belah) sehingga bangsa Indonesia beberapa kali mengalami goncangan perubahan UUD 1945 (yaitu melalui Konstitusi RIS tanggal 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950 dan melalui UUD Sementara yang diberlakukan tanggal 17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959 / dekrit Presiden RI).
- Sebetulnya UUD 1945 (yang asli) dibuat dan diberlakukan serta mengadung makna filosofi yang tersirat agar bangsa Indonesia tidak terjajah ulang oleh penjajahan model baru yang dilakukan bangsa asing baik secara langsung atau tidak langsung / melalui kaki tangan asing yang ada di Indonesia.
- Setiap perubahan / penetapan UUD 1945 yang baru oleh MPR mengandung makna pula agar anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR + anggota DPD wajib meneruskan perubahannya sampai pada tingkat Tap-Tap MPR, atau sampai pada tingkat tatanan UU bersama-sama Pemerintah demi meminimalkan kebingungan rakyat, terutama kebingungan rakyat didalam memahami sistem hukum apa yang cocok diterapkan sesuai nilai-nilai luhur budaya hukum bangsa Indonesia serta sekaligus untuk mewujudkan kepastian hukum dan/ atau kepastian arah kebijakan nasional pembangunan fisik dan mental bangsa Indonesia seperti diamanatkan didalam setiap GBHN hasil penetapan anggota MPR selaku wakil rakyat Indonesia.
E. KESIMPULAN
- Amandemen UUD 1945 sekalipun bukan merupakan hal yang tabu untuk dilakukan namun fakta empiriknya membuktikan bahwa substansi hasil amandemen terhadap Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan pasal-pasal lainnya terkesan tidak mendalam kajian filosofinya, serta selanjutnya pasal 29 UUD 1945 sekalipun tidak mendapat amandemen, tetapi fakta empiriknya membuktikan bahwa tidak ada jaminan pasal 29 UUD 1945 untuk tidak diubah sekalipun pasal ini juga merupakan pasal yang disakralkan oleh rakyat Indonesia dan merupakan norma dasar UUD 1945/ Grundnorm.
- Hasil Amandemen UUD 1945 membuktikan adanya pengkerdilan kedudukan MPR selaku lembaga tertinggi di Republik Indonesia, serta hasil amandemen juga berimplikasi negatif yaitu terhapusnya ketentuan dasar rakyat bermusyawarah dalam suatu rumah di MPR sebagai suatu sistem perwakilan di Negara Kesatuan RI sesuai rumusan sila keempat Pancasila.
F. SARAN
- Setelah + 15 tahun amandemen UUD 1945, kiranya perlu penelitian, dan kajian secara komprehensif terhadap implikasi negatif hasil amandemen UUD 1945, khususnya kajian pada perubahan pasal 1 ayat (2), Pasal 3, Pasal 6 atau pasal-pasal yang terkait dengan filosofi Negara RI berdasarkan Pancasila.
- Pasal 29 UUD 1945 perlu mendapat ketegasan pelarangan perubahan karena sudah ada gejala perongrongan terhadap nilai-nilai kehidupan masyarakat beragama melalui wacana-wacana LGBT yang minta disahkan kepada Negara.
- Karena fakta membuktikan bahwa arah kebijakan pembangunan pada segala bidang kehidupan dinegara kesatuan RI tidak jelas, antara lain tidak ada GBHN dan tidak ada arah kebijakan nasional pembangunan bidang Hukum, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya dan HANKAMRATA (Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta), serba pragmatis serta pula rentan masuknya nilai-nilai budaya asing yang berakibat tergesernya nilai-nilai kehidupan budaya bangsa Indonesia maka sudah saatnya MPR mempertimbangkan kembalinya UUD 1945 seperti sebelum amandemen agar cita-cita Indonesia merdeka tidak sia-sia.
- Pencantuman teknis tentang tambahan ayat atau tambahan nilai-nilai kaedah dalam pasal-pasal amandemen yang masih diperlukan untuk mengkongkritkan Grundnorm/ kaedah dasar UUD 1945 seyogyanya dipertimbangkan untuk dicantumkan dan diatur saja didalam produk UU atau dalam ketetapan MPR.
“Selamat Merenung” (Ed/Jf).